Charlie Caplin

Image by: Metronews.com

Charlie Caplin
Toyib Nurhamid

Penat kembali menyeretku ke dunia lain, membuat semua yang terlihat seperti monster buruk rupa, tak tahan jika terus aku pandang, menyebalkan. Suara-suara berubah menjadi dengungan lebah bising tak merdu, begitu mengganggu. jika saja kupunya kemampuan berbicara bahasa mereka, akan kupanggil ratu dari koloni mereka, dan ku usir pergi dari hadapanku. Jika saja punggawa-punggawa betina dari koloni keluar dan tak terima dengan yang ku ucapkan, bersiap menyerang dengan mempertahankan diri demi martabat koloni lebah, maka matilah aku, taukah kau kawan, bahwasannya sengatan dari ujung abdomen tawon betina adalah salah satu hal yang menakutkan. Jika saja sengatan itu hinggap di ujung hidungmu, kau akan terlihat seperti pinokio berhidung panjang yang selalu saja terlihat sedang berdusta.
Pekerjaan hari ini terasa begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan hari ini berat secara fisik. Tapi karena hari ini, aku terkena omelan “sengatan betina muda”, bos muda dari tempatku bekerja di sebuah toko waralaba. Perangainya bukan saja terlihat cerdas dengan kacamata bening yang selalu menempel diwajahnya, tapi juga terlihat garang bukan main.
Aku ini lelaki pendiam. Tidak banyak yang bisa disampaikan ketika aku berbicara, walaupun sebenarnya banyak kata-kata yang muncul di fikiran, tapi lidah selalu saja tak bersahabat. Hanya sepatah dua patah kata yang terucap. Yang lainnya bersembunyi dan bersikukuh tak mau keluar layaknya pengecut. Berbeda dengan teman-teman yang lain, yang bahkan hanya melihat seekor semut yang berjalan saling menyapa saja bisa mereka omongkan. Tapi saat ini suara mereka layaknya koloni lebah, Sumbang.
Mulut semua orang seperti kenalpot bus besar yang sudah usang tapi tetap saja dipakai mencari penumpang, berbicara tak tentu arah dan sangat mengganggu dengan asap hitamnya. Bau yang terasa pahit dihidung, dan mual diperut. Sedang aku terus diam dan merapatkan mulut, membisu dan memasang muka tak bersahabat pertanda jangan ganggu aku.
Aku bergegas pulang dan tak menghiraukan suara-suara yang berlalu sepanjang perjalanan. Terbesit kebosanan menjalani hidup semacam ini, berkejaran dengan waktu, mendengarkan celotehan-celotehan kawan yang tidak menarik untuk didengarkan, dan menarik garis senyum palsu diwajah seperti tak punya semangat hidup.
Andai saja aku mempunyai kekuatan menciptakan duniaku sendiri. Ingin ku buat negeri dengan orang-orang seperti Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, tidak banyak bicara dan tidak membuat gaduh. Tidak ikut campur dengan urusan orang lain. Menjalani dunia mereka dengan cara mereka sendiri. Menenangkan.
            Kubaringkan badan letihku ditempat tidur, mengalihkan fikiran dari hiruk pikuk masalah kehidupan, tentang orang-orang yang banyak bicara, orang-orang yang selalu menekan, dan orang-orang selalu ikut campur urusan orang lain. Badan terasa nyaman sekali berbaring, urat-urat kaki yang meregang, otot-otot saraf dikepala yang mulai rileks dan perlahan-lahan rasa kantuk mulai datang menuntun kedunia mimpi. Otak sadar mulai kehilangan kendali terhadap tubuh seutuhnya, diambil alih oleh saraf-saraf otak bawah sadar.
            Tiba-tiba aku merasa seperti ditempat teater, melihat Charlie Chaplin memakai kemeja putih, celana hitam, sepatu pantovel dan topi hitam seperti yang biasa kulihat digambar-gambar internet. Ditempat itu hanya ada aku sebagai penonton dan Charlie Chaplin diatas panggung. hening, tak ada suara sama sekali kecuali hentak-hentakan sepatu yang bergeser kekanan dan kekiri mengikuti gerak tubuhnya. Nyaman sekali, tidak ada satupun orang yang berisik dan membuat gaduh diruangan itu sampai acara pertunjukan selesai. Walaupun terbesit keanehan dari tempat itu, kenapa cuma ada aku dideretan bangku penonton, dan kenapa cuma ada Charlie Chaplin diatas panggung, dimana Marcel Marcheau dan dimana orang-orang yang lain.
            Selesai acara pertunjukan, hendak aku naik menghampiri Carlie Chaplin keatas panggung. Selangkah kakiku menginjakan kaki keatas panggung dia dua langkah menjauh, aku berjalan mendekat dia berlari kedalam ruang disamping panggung. Aku kira dia pindah ke ruang aktor, ruang make up para pemain teater. Aku berjalan mengikuti jejaknya dan mendapati diruangan itu hanya ada ruang kecil ukuran tiga meter persegi yang kosong. Dari rasa penasaran yang muncul sejak pertunjukan tadi sekarang berubah menjadi rasa takut, merinding. Sebenarnya dimana aku sekarang, dimana yang lainnya.
            Aku mencari pintu keluar dari tempat teater itu. berjalan mengelilingi bangku-bangku penonton mencari pintu keluar tapi hasilnya nihil. Aku terjebak dalam ruangan kosong sendiri dengan hanya bermodalkan cahaya lampu dari lampu diatas panggung teater. Itupun hanya ada satu lampu, remang-remang, menakutkan karena rasa panik mulai menguasai fikiran.
Dimana pintu keluarnya, apakah ada orang? Tolong aku.
Tidak bisa aku sembunyikan rasa takutku dan mulai ku berteriak meminta bantuan. Aku kembali mengelilingi bangku-bangku penonoton mencari pintu keluar dari ruangan. Dan sia-sia. Tiba-tiba lampu diatas panggung teater itu mati. Suasana gelap total, tak ada cahaya yang masuk dari luar, lantas bagaimana dengan nasibku.
Tolong..hoi.. ada orang diruangan ini?
Sejam berlalu, aku duduk termenung disalah satu pojok ruangan. Tak ada peubahan, belum ada pertolongan.jika ini hanya mimpi aku berharap aku cepat bangun. Ku memukulkan kepalaku ketembok dan rasanya sakit.
Apa ini nyata? Tidak mungkin. Aku masih ingat aku baru saja tersengat lebah betina dari tempatku bekerja, kenapa sekarang aku disini?.
 Pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu sajadalam benaku, seolah aku meraih kembali ingatanku sebelum aku tertidur, aku mulai ragu. Apakah keadaanku aku sekarang yang bermimpi atau ingatanku yang di marahi bos muda ditempata kerjakulah yang mimpi itu.
Aku meringkuk dipojok panggung, ketakutan dan hampir saja menangis meratapi nasib dan keadaanku saat ini. Sampai kutemukan pesan dari sebuah kertas yang tidak sengaja aku duduki, kucoba melihat isi tulisan itu. tapi karena tak ada cahaya. Tak bisa hal tiu kulakukan. Aku mencoba mencari  penerangan, dari pojok satu kepojok yang lain tapi tak ada hasil. Tiba-tiba Charlie Chaplin keluar dari ruangan yang tadi kosong itu, membawa sebatang lilin yang sudah dinyalakan dan mendekat ke arahku. Kupikir dia akan berkata sesuatu kepadaku, tapi dia hanya tersenyum aneh. Ekspresi yang membuatku takut. Kemudian memberikan lilin itu kepadaku dan kembali menghilang.
Kubaca pesan dikertas itu dengan bantuan cahaya lilin,
Pilihlah duniamu? Kamu yang menentukan duniamu sendiri.
Sampai kubaca pesan itu. dan keadaan tak berubah. Aku tetap dalam ruangan itu dan kemudian dari pojok ruangan seseorang membukakan pintu, aku yakin. Tidak ada pintu disitu saat aku mencoba keluar.

Post a Comment

0 Comments