Gratis E-book Novel Edensor
salah satu buku dalam tetralogi laskar pelanngi yaitu edensor yang berkisah tentang perjalanan ikal selama belajar di eropa.
kejadian
meriam bambu itu adalah bukti bahwa nama Aqil Barraq Badruddin terlalu berat
untukku. Ayah memutuskan untuk menggantinya. Demi menemukan nama baru, Ayah
rajin berunding dengan juru tulis kantor desa, perawat puskesmas, polisi pamong
praja, pelayan restoran, penjaga pintu air, atau siapa saja yang berseragam. Bagi
Ayah, orang-orang berseragam lebih pintar dari orang kebanyakan. Siang ini ia
berbincang dengan pria yang gerak- geriknya seperti beruk karena ia seorang
pemanjat kelapa. Di kampung kami ada persatuan pemanjat kelapa dan mereka
berseragam. Pulang ke rumah, Ayah bersukacita.
"Telah
kutemukan nama baru untuk si Ikal itu, Bu!"
"Kabar
gembira!" jawab Ibu.
"Dengan
nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal." Waktu itu aku dan adikku
tengah dihukum mencuci
piring
karena tanpa alasan jelas mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.
"Tak
tanggung-tanggung, Bu, kata Mahader pemanjat kelapa, nama ini dapat membuat
orang menjadi bijak." Aku ngomel dalam hati,
“bagaimana kalau aku tak sudi dengan nama baru itu?
Ayah:
Arti nama ini adalah pria lemah lembut nan berjiwa besar!
Aku:
Hmm... bagus sekali ya, tak seorang pun
minta pendapatku, padahal akulah yang akan memikul nama itu seumur hidup!
Adikku,
yang gembrot dan lugunya minta ampun itu, tak peduli. la meniup-niup gelembung
sabun. Bruuuphhh... brupphh.
"Apakah
gerangan nama yang hebat itu, Yah Ni?" Ayahku
bangkit, berkumandang.
"Waaa
... dudh!! Wadudh! Itulah namanya! Kata Mahader, nama itu gelar untuk
menghormati orang yang
paling
tinggi akhlaknya di kalangan pengembara Samia!"
Ibu:
Subhanallah!
Mahasuci Allah! Hebat nian nama itu!
Aku:
Wadudh?
Pastilah pengembara berkafiyeh
yang suka minum susu kambing itu!
Adikku:
Bruuuphhh... brupphh.
Sayang
seribu sayang, pengembara Samia yang bijak bestari itu menjelma menjadi garong.
Tak lama setelah nama agung itu dilekatkan kepadaku, aku memimpin komplotan
santri untuk menjarah tambul, penganan
yang disumbangkan umat ke masjid jika Ramadan. "Ketua Wadudh," begitu
santri- santri itu memanggilku. Nakalku makin menjadi. Aku blingsatan mencari
diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide yang sinting. Dengan sogokan sebungkus
kuaci, kuhasut adikku si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu "Indonesia Raya"
dengan pengeras suara masjid. Suaranya yang cadel melolong-lolong seantero
kampung.
Aku
dan Ayah kena sidang.
"Wadudh
sudah tak bisa diatur!! Tak boleh lagi dia ke masjid ini!" Haji Satar
emosi. Para penggawa yang mengelilingi kami menganggukangguk.
"Oh, gawat...."
Wajah
Ayah biru menahan malu. la menatapku. Tatapan yang tak pernah kukenal
sebelumnya. Naluriku berbisik, Ayah akan mengambil tindakan ekstrem untuk mengganjarku.
Aku mengerut ketakutan.
"Onar!
Hanya onar saja dibuatnya!!" Wak Tarjik histeris Kopiahnya pernah kulumuri minyak rem.
Ayah
makin tajam menatapku. Aku tak pernah dikasari ayahku, bahkan ia tak pernah
menaikkan suaranya kepadaku, tak pernah, walau hanya sekali. Namun, kejadian "Indonesia
Raya" itu memang sudah kelewat batas. Majelis menuntut Ayah bertindak
tegas. Dalam mata Ayah, jelas kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya
serbasalah. Ia bak Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya. Aku miris
membayangkan dibuang Ayah ke pesantren Pulau Penyengat, menyeberangi Selat
Melaka, tak pulang bertahun- tahun. Aku terlalu kecil untuk sanksi sekeras itu.
"Beri
hukuman berat sekalian agar Wadudh jera!" hardik Taikong Hamim. berat
sekali cobaan Ayah.
"Bagaimana
keputusanmu, Pak Cik?! Apa tindakanmu agar tabiat buruk Wadudh tak terulang
lagi?!" Taikong tak sabar, nadanya mengancam. Baca kelanjutannya di e-book
0 Comments