Demokrasi Indonesia: Masa Lampau, Sekarang dan Masa Mendatang
Dalam membicarakan tentang demokrasi di Indonesia, bagaimanapun juga, kita tidak terlepas dari alur periodesasi sejarah politik di Indonesia. Yaitu, apa yang disebut sebagai periode pemerintahan masa revolusi kemerdekaan, pemerintahan parlementer (representative democracy), pemerintahan Demokrasi Terpimpin (guided democracy), dan pemerintahan Orde Baru (Pancasila democracy).
Para penyelenggara
negara pada awal periode kemerdekaan mempunyai komitmen yang sangat besar dalam
mewujudkan demokrasi politik di Indonesia. Hal itu terjadi karena latar
belakang pendidikan mereka. Mereka percaya, bahwa demokrasi bukan merupakan
sesuatu yang hanya terbatas pada komitmen, tetapi juga merupakan sesuatu yang
perlu diwujudkan. Tentu saja, tidak terlampau banyak yang akan dibicarakan
menyangkut demokrasi pada pemerintahan periode ini (1945-1949), kecuali
beberapa hal yang fundamental yang merupakan peletakan dasar bagi demokrasi di
Indonesia untuk masa-masa selanjutnya.
Pertama, political franchise
yang menyeluruh. Para pembentuk negara, sudah sejak semula, mempunyai komitmen
yang sangat besar terhadap demokrasi, sehingga begitu kita menyatakan
kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Belanda, semua warga negara yang sudah
dianggap dewasa memiliki hak-hak politik yang sama, tanpa ada diskriminasi yang
bersumber dari ras,agama,suku dan kedaerahan.
Kedua,
Presiden yang
secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi seorang diktator, dibatasi
kekuasannya ketika Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk untuk
menggantikan parlemen.
Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka
dimungkinkan terbentukya sejumlah partai politik, yang kemudian menjadi peletak
dasar bagi sistem kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam
sejarah kehidupan politik kita.
Impelementasi demokrasi
pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan baru sebatas pada interaksi politik
di parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan.
Elemen-elemen demokrasi yang lain belum sepenuhnya terwujud, karena situasi dan
kondisi yang tidak memungkinkan. Sebab, pemerintah harus memusatkan seluruh
energinya untuk bersama-sama dengan rakyat mempertahankan kemerdekaan dan
menjaga kedaulatan negara, agar negara kesatuan tetap terwujud.
2. Demokrasi Parlementer
Periode kedua pemerintahan negara Indonesia
adalah tahun 1950 sampai 1959, dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Saya menyebutnya periode
pemerintahan dalam masa ini sebagai pemerintahan parlementer, karena pada masa ini merupakan kejayaan parlemen dalam
sejarah politik di Indonesia. Periode itu dapat juga disebut sebagai “Representative/Participatory Democracy”.
Oleh Herbert Feith, pemerintahan pada masa ini disebut juga sebagai “Consitutional Democracy”.
Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan
yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan
dalam parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya
kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya.
Kedua,
akuntabilitas
pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi
karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa sebagai alat kontrol
sosial. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode ini merupakan contoh
konkret dari tingginya akuntabilitas tersebut.
Ketiga,
kehidupan
kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk
berkembang secara maksimal. Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem banyak
partai (multy party sistem). Ada
hampir 40 partai politik yang terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat
tinggi dalam proses rekruitmen, baik pengurus atau pimpinan partainya maupun
para pendukungnya.
Keempat,
sekalipun Pemilihan
Umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955 tetapi Pemilihan Umum
tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kompetisi antara
partai politik berjalan dengan sangat intensif. Parttai-partai politik dapat
melakukan nominasi calonnya dengan bebas, kampanye dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab, dalam rangka mencari dukungan yang kuat dari masyarakat
pemilih. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pemilih dapat
menggunakan hak pilihnya dengan bebas tanpa ada tekanan dan rasa takut. Undang-undang
Pemilihan Umum tahun 1953 merupakan landasan berpijak yang sangat demokratik
dan tidak memberikan peluang kepada Panitia Pemilihan Indonesia untuk melakukan
pengaturan lebih lanjut.
Kelima,
masyarakat pada
umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali,
sekalipun tidak semua warga negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Hak
untuk berserikat dan berkumpul dapat diwujudkan dengan jelas, dengan
terbentuknya sejumlah partai politik dan organisasi peserta Pemilihan Umum (voter’s association). Menurut istilah
sekarang, yang tumbuh ibarat cendawan di musim hujan. Kebebasan pers juga
dirasakan dengan baik, karena tidak dikenal adanya lemnaga yang menghambat
kebebasan tersebut. Pers memainkan peranan yang sangat besar dalam meningkatkan
dinamika kehidupan politik, terutama sebagai alat kontrol sosial. Sekalipun
pers itu sendiri merupakan instrumen politik yang sangat efektif dari sejumlah
partai politik.
Sejak berakhirnya
Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno sudah menunjukkan gejala
ketidaksenangannya kepada partai-partai politik. Hal itu terjadi karena partai
politik sangat berorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang
memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh. Bahkan pernah
pada suatu kesempatan di Istana Merdeka beliau melontarkan keinginannya untuk
membubarkan saja partai-partai politik. Di samping itu, Soekarno juga
melontarkan gagasan, bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong-royong dan
kekeluargaan. Soekarno juga menekankan bagaimana besarnya peranan pemimpin
dalam proses politik yang berjalan dalam masyarakat kita. Soekarno kemudian
juga mengusulkan agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong, yang
melibatkan semua kekuatan politik yang ada termasuk Partai Komunis Indonesia
yang selama ini tidak pernah terlibat secara resmi dalam koalisi kabinet. Untuk
mewujudkan gagasan tersebut, Soekarno kemudian mengajukan usulan yang dikenal sebagai
“Konsepsi Presiden”. Melalui konsepsi
tersebut, terbentuk kemudian apa yang disebut sebagai Dewan Nasional yang melibatkan semua partai politik dan organisasi
sosial kemasyarakatan.
Pertama, hubungan antara pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah semakin
memburuk.
Kedua,
Dewan Konstituante
ternyata mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan
ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu politik,
yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kelompok lain
yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara.
Pemberontakan G-30S/PKI
merupakan titik kulminasi dari pertarungan atau tarik tambang politik antara
Soekarno, Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia. Sebagaimana kita
ketahui, akibat dari usaha kudeta yang gagal dari PKI membawa akibat yang amat
fatal bagi partai itu sendiri, yakni dengan tersisihkannya partai tersebut dari
arena perpolitikan Indonesia. Demikian juga Soekarno, yang begitu besar
kekuasannya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), sedikit demi sedikit
kekuasannya dikurangi. Bahkan Soekarno tersingkir dari politik nasional, sampai
meninggal pada tahun 1971. Akhirnya Angkatan Darat muncul sebagai kekuatan
politik yang sangat menentukan dalam proses politik selanjutnya, dengan apa
yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI.
Era baru dalam
pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat, yaitu antara
tahun 1965 sampai 1968, ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi Presiden
Republik Indonesia. Era yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.
Orde Baru memberikan
pengharapan baru, terutama yang berkaitan dengan perubahan-perubahan politik,
dari yang sifat otoriter pada masa Demokrasi Terpimpin dibawah Soekarno menjadi
lebih demokratik. Apakah kenyataannya memang benar demikian ? Menurut hemat
saya, tidak ada perubahan yang substansif dari kehidupan politik di Indonesia
antara Orde Lama dengan Orde Baru, terutama pada permulaan Orde Baru sampai
berakhirnya Pelita IV, atau memasuki permulaan 1990 an. Kenyataannya dalam
perjalanan politik Orde Baru, Kekuasaan
Kepresidenan merupakan pusat dari seluruh proses politik yang berjalan di
Indonesia. Lembaga tersebut merupakan pembentuk dan penentu agenda sosial,
ekonomi, dan politik nasional. Kekuasaan Lembaga Kepresidenan boleh dikatakan
sedemikian besarnya, karena presiden mampu mengontrol rekruitmen politik dan
memiliki sumber daya keuangan yang tidak terbatas. Di samping itu, Presiden
Soeharto sendiri memiliki sejumlah legacies
yang tidak dimiliki oleh siapapun, seperti Pemegang Supersemar, Mandataris MPR,
Bapak Pembangunan, serta Panglima Tertinggi ABRI.
BAB 3
BUDAYA POLITIK INDONESIA
1. Budaya Politik ( Makna dan Pewujudannya).
A. Budaya Politik.
Konsep budaya politik baru muncul dan
mewarnai wacana ilmu politik pada akhir perang dunia II, setelah perang dunia
II selesai, di Amerika Serikat terjadi apa yang di sebut revolusi dalam ilmu
politik, yang dikenal sebagai behavioral revolution atau behavioralism.
Terjadinya behavioralism dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari semakin
menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, sebuah faham yang percaya bahwa
ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala sosial, seperti halnya
ilmu-ilmu alam yang mampu memberikan penjelasan terhadap gejala-gejala alam,
dalam ilmu sosial termasuk ilmu politik. Paham ini sangat kuat dan diyakini
oleh tokoh sosiologi, seperti Herbert Spencer, Auguste Comte dan Emile
Durkheim. Selain itu, salah satu faktor yang menopang lahirnya behavioral
revolution ini adalah muncul dan berkembangnya kecenderungan baru dalam dunia
penelitian, yaitu kecenderungan untuk mengadakan penelitian survei (survey
research).
Salah satu dampak yang sangat jelas dari
behavorial revolution ini adalah munculnya sejumlah teori baik yang bersifat
grand maupun pada tingkat menengah. Kemudian ilmu politik diperkaya dengan
sejumlah istilah, seperti misalnya ilmu analysis, interest aggregation,
interest articulation, political
socialization, politic culture,conversion, rule making, rule application, rule
adjudication, dan sebagainya. Teori tentang budaya politik merupakan salah satu
bentuk teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik.
Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut
pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya,
seperti tentang ibu kota negara, lambang negara, kepala negara dan lain
sebagainya. Sementara orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan
emosioanal yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Sedangkan
orientasi yang bersifat orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas
individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang
berjalan dan bagaimana peranan ilmu didalamnya. Dengan sikap orientasi seperti
itu, kemudian terbentuklah budaya politik yang berbeda dalam sebuah masyarakat.
Masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, dimana masyarakat
mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan terbentuk
sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.
B. Sosialisasi Politik sebagai Wahana Pembentuk Budaya Politik
Proses pembentukan budaya politik dilakuakan
melalui sosialisai politik. Yaitu proses penelusuran atau pewarisan nilai dari
suatu generasi ke generasi berikutnya. Sistem nilai, norma, dan keyakinan yang
dimiliki oleh sebuah generasi dapat diturunkan kepada generasi berikutnya
melalui berbagai media, seperti: keluarga, sanak-saudara, kelompok bermain dan
sekolah. Kemudian setelah selesai pendidikan, diteruskan melalui lingkungan
kerja dan ditopang oleh media yang lain, seperti: koran, majalah, radio,
televisi dan sebagainya yang merupakan agent dari sosialisai politik. Dengan demikian, semakin bertambahnya usia
dan pengalaman, semalkin bertambah pula kesempatan bagi individu untuk
memperoleh sosialisasi politik yang lebih luas. Dari berbagai lingkunag anak
memperoleh nilai politik. Dalam sebuah sitem dimana negara memainkan peranan
yang sangat dominan, bahkan monopolistis, dalam pembentukan nilai dan norma
politik, maka keyakinan dan nilai yang ditanamkan adalah keyakinan dan nilai
yang diyakini oleh penguasa negara.
C. Budaya Politik Indonesia.
1) Hierarki
yang Tegar.
Sebenarnya
sangat sulit untuk melakukan identifikasi budaya politik Indonesia, akan tetapi
yang dapat di jadikan titik tolak untuk membicarakan masalah ini adalah adanya
sebuah pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis yang dominan
pula, yaitu kelompok etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku, dan
orientasi politik kalangan elite politik Indonesia. Oleh karena itu Claire
Holt, Benedict Anderson, dan James Siegel menulis buku yang berjudul Political
Culture In Indonesia yang isinya menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat
Jawa. Menurut anailisi Anderson, konsep kekuasaan pada masyarakat Jawa berbeda
sekali dengan apa yang di pahami masyarakat Barat. Karena, bagi masyarakat Jawa
kekuasaan itu pada dasarnya bersifat konkret, besarannya konstan, sumbernya
homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Hal ini berbeda
dengan masyarkat Barat, dimana kekuasaan itu bersifat abstrak dan berasal dari
berbagai macam sumber, seperti uang, kekayaan, fisik, kedudukan, asal-usul dan
lain sebagainya. Karena kekuasaan itu berasal dari sumber yang satu, maka
sifatnya konstan. Dan selam sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan,
maka kekuasaan seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu
dipersoalkan.
2) Kecenderungan Patronage.
Salah satu budaya politik yang menonjol di
Indonesia adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik dari
kalangan pengusa maupun masyarakat, atau disebut dengan pola hubungan patron
client. Walau hubungan dalam konteks ini bersifat individual. Antara dua
individu yaitu si patron dan si client terjadi interaksi yang bersifat
resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki
oleh masing-masing pihak. Si patron memiliki sumber daya yang berupa kekuasaan,
kedudukan, perlindungan, dan materi. Sementara client memiliki sumber daya
berupa tenaga, dukungan, dan loyalitas. Pola hubungan tersebut akan terpelihara
selama masing-masing pihak tetap memiliki sumber daya tersebut. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa yang paling banyak menikmati hasil dari hubungan ini
adalah patron sebab, dialah yang memiliki sumber daya yang paling besar dan
lebih kuat ketimbang client. Disamping itu ada satu catatan tambahan untuk
diperhatikan, antara pola hubungan tersebut itu tumbuh dan berkemabng karena
terjadi perantara yang disebut sebagai brooker atau middleman.
Gejala pola hubungan tersebut bukan merupakan
suatu hal yang baru di Indonesia, karena hal itu sudah di kembangkan sejak
zaman kolonial. Munculnya sejumlah elite nasional pada masa kolonial merupakan
hasil dari pola pantronage yang
dikembangkan oleh kaum penjajah terhadap elite nasional. Dari gambaran tersebut
kita dapat mengamati bahwa perilaku kalanagn birokrat pada masa sekarang ini
merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan oleh pendahulu kita pada
masa kolonial.
Salah satu kecenderungan dalam perpolitikan
di Indonesia adalah sebuah kecenderungan akan munculnya budaya politik yang
bersifat neo-patrimonialistik. Dikatakan neo-patrimonialistik, karena negara
memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi.
Tetapi juga memperlihatkan atribut yang bersifat patrimonialistik.
Gejala terakhir yang
menrik untuk dicatat adalah munculnya anak-anak pejabat dalam politik. Mereka
menempati posisi yang strategis dalam golongan karaya pada skala nasional dan
memegang posis kunci dalam oraganisasi kepemudaan, seperti: AMPI, FKPPI, pemuda
pancasila dan lain sebagainya.
D. Sosialisasi Politik : Tidak Memunculkan Civil Society.
Budaya politik merupakan produk dari proses
pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialiasi
politik, individu dalam negara akan menerima norma, sitem keyakinan, dan
nilai-nilai dari generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagi tahap, dan
dilakukan oleh berbagai macam agent, seperti keluarga, saudara, teman, sekolah
ataupun di lingkungan pekerjaan dan
tentu saja media masa.
Tetapi proses
sosialisasi atau pendidikan politik di Indonesia tidak memberikan ruang yang
cukup untuk memunculkan civil society. Yaitu suatu masyarakat yang mandiri,
yang mampu mengisi ruang publik, sehingga mampu mengisi rung publik, sehingga
mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebihan. Ada tiga alasan uatama
mengapa pendidikan politik di Indonesia tidak memberi peluang yang cukup untuk
memunculkan civil society.
Pertama, dalam masyarakat kita, anak-anak tidak di didik untuk menjadi
insan yang mandiri. Anak-anak bahkan mengalami aliensi dalam politik keluarga.
Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si
anak, merupakan domain dewasa; anak-anak tidak dilibatkan sama sekali. Dibarat,
semakin bertambah umur si anak maka akan semakin sedikit bergantung kepada
kedua orang tuannya. Sementara itu, di Indonesia sering tidak ada hubungan
anatara bertambah umur anak dengan tingkat ketergantungan kepada orang tua,
kecuali anak sudah menjadi orang sukses sperti kedua orang tuanya.
Kedua, tingkat politisasi sebagian besar
masyarakat kita sangat rendah. Kalangan keluarga miskin, petani, buruh, dan
lain sebagainya, tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi, karena mereka
lebih terpaku pada kehidupan ekonomi dari pada memikirkan segala sesuatu yang
bermakna politik. Bagi mereka ikut terlibat dalam wacana publik tentang hak-hak
dan kewajiban warga negara, HAM, dan sejenisnya, bukanlah skala prioritas yang
penting. Oleh karena itu tingkat sosialisasi politik masyrakat seperti ini baru
pada tahap yang bersifat kognitif bukan menyangkut dimensi yang bersifat evaluatif.
Ketiga, setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara
tidak mempunyai alternatif lain kecuali mengikuti kehendak negara, termasuk
dalam hal keegiatan pendidikan politik.pendidikan politik di Indonesia lebih
merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai dan keyakinan yang diyakini oelh
penguasa negara.
Baca juga:
0 Comments