Download E-book Tan Malaka - Madilog
Download
Kutipan didalamnya:
Kebesaran
Indonesia dahulu ter-letak di Maluku; sekarang ada di Jawa nanti di Sumatera
Apakah yang dimaksud Belanda dengan “Kebesaran?”
Tentulah bukan kebudayaan! Kalau
dipandang
dari penjuru kebudayaan, maka simpulan tadi mesti disusun: Sumatera yang pelopor;
Jawa yang sekarang; dan hari depannya Indonesia, boleh jadi sekali kembali ke
Sumatera. Sebelum zaman Majapahit, tak bisa disangkal, bahwa Sumateralah dengan
kerajaan Sriwijaya, sebagai pemimpin politik, yang menjadi pusat kebudayaan.
Sekolah tinggi berdasarkan Buddhisme, di ibukota Sriwijaya, tidak saja menjadi
obornya Buddhisme di Indonesia, tetapi pada satu masa boleh dikatakan buat
seluruhnya dunia yang beragama Buddha. Dharmakitri di Sriwijaya diakui sebagai
ahli Buddhisme yang terbesar pada zamannya. Yah Hien dan IChing; keduanya ahli
Tionghoa tentangan agama Buddha, dan diakui oleh dunia Barat juga sebagai Ahli
Sejarah Timur yang besar, lama tinggal di-ibu kota Sriwijaya buat mempelajari
Buddhisme.
Pada masa Sriwijaya masih dipuncak kekuasaan dan
Buddhisme di Hindustan sedang turun, maka besar sekali pengaruhnya Sriwijaya
atas sisa politik dan kebudayaan Buddhisme yang masih tinggal di Hindustan.
Sesudah Sriwijaya turun dan sunyi senyap, maka pusat kebudayaan
(Hinduisme-Buddhisme) berpindah ke Jawa. Sampai sekarang Jawa tetap pegang
kehormatannya sebagai pusat kebudayaan Hindu-Jawa itu. Walaupun sekali lagi
Sumatera berlaku sebagai pelopor dengan membawa Islam ke-Jawa – ingatlah
nama-nama Falatehan Jakarta dan Sunan Gunung Jati – tetapi kebudayaan yang
dilaksanakan dan dimajukan oleh bangsa Indonesia masih berpusat di Jawa.
Kebudayaan masa dahulu kala yang bisa dianjurkan keluar Negara, yang bisa
mengenangkan hati seluruhnya
Rakyat Indonesia pada masa sekarang, ialah:
kebudayaan Jawa. Yang saya maksud dengan kebudayaan, kultur, ialah perkendalian
atas dunia diluar dan dalam diri manusia. Perkendalian atas “dalam diri” itulah
yang memuncak di Jawa. Tetapi mesti ada peringatan, bahwa perkendalian itu
berdasarkan idealisme, kegaiban dalam filsafatnya dan kerajaannya dalam politik
(politiknya). Duduk sama rendah, tegak sama tinggi, tak didapati kalau dalam
Masyarakat Hindu-Jawa. Kalau dasar semacam ini, dasar kerakyatan ini akan
dijadikan ukuran, maka kita mesti menoleh kemasyarakat Minangkabau pada zaman
luruhnya. Kita mesti pelajari makna undang yang dipusatkan oleh dua
Ketumanggungan dan Perpatih. Keduanya ahli undang ini berdasarkan kerakyatan,
tetapi yang pertama dianggap conservative. Walaupun kesusasteraan dan seni
seperti tari dan nyanyi di Minangkabau disana terbelakang dari Jawa, tetapi
teknik dan ekonomi sekali-kali tak ketinggalan oleh Jawa. Malah dalam teknik
perairan Minangkabau melebihi Jawa dan Bagian Asia lainpun.
Dalam perkara kebudayaan, bukanlah Maluku yang jadi
pelopor, perintis, jalan kebudayaan. Bukanlah “Maluku” het verleden,
melainkan Sumatera. Cuma kalau dipandang dengan kaca mata shopkeeper,
yakni tukang warung, maka kehormatan itu terletak didadanya aluku. Memang Maluku dengan cengkeh dan
palanya pernah menarik bangsa Eropa ke
indoenesia dan mengisi penuh kantongnya bangsa Barat itu. Dengan hilang
celupnya pala dan cengkeh itu, dan naiknya celup gula dan kopi. Maka dari
penjuru matanya tukang warung juga “kebesaran” sekarang itu berpindah ke Jawa.
Sebetulnya, sesudah kira-kira tahun 1927, pada waktu mana export dari Sumatera
sudah lebih dari setengahnya export seluruh Indonesia “Kebesaran sekarang” itu
sudah berpindah dari Jawa ke Sumatera, yakni dipandang dari kaca-mata tukang
warung juga. Dengan begini sebetulnya nujumnya tukang warung tadi, bahwa “Sumatera
itu ialah hari Depan, sudah berlaku”.
Memang Sumatera dengan besarnya hampir 3 ½ X Jawa;
dngan banyak dan besar serta dalam sungainya yang mengalir ke Samudra Pasific
dengan segala ragam bahan logamnya yang sempurna banyak dan sifatnya; dengan
letaknya yang tiada taranya didunia ini; dan akhinrya tetap tiada terkurang
pentingnya, dengan kemajuan Ilmu dan Pesawat Zaman sekarang yang bisa menukar
rawa-rayanya Sumatera sebelah Timur menjadi tamanraya ............... maka tak
ada diantara kepulauan Indonesia yang berbahagia seperti Sumatera. Apalagi
kalau Sumatera itu dikembarkan (terowongan) seperti pada zaman purbakala dengan
Semenanjung tanah Malaka.
0 Comments