Ruang Lingkup Akhlak
Dalam berbagai
literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik
(akhlak mahmudah) dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Yang dimaksud
dengan akhlak mahmudah adalah segala tingkah laku yang terpuji (yang baik) yang
biasa dinamakan fadlilah (kelebihan). Imam al Ghazali juga menggunakan
perkataan munjiyat yang berarti segala sesuatu yang memberikan kemenangan atau
kejayaan. Dia juga mengatakan bahwa akhlak itu mengacu pada keadaan batin
manusia, maka akhlak yang baik berarti keadaan batin yang baik. Sedangkan
kebalikan dari akhlak mahmudah yaitu akhlak madzmumah yang berarti segala
tingkah laku yang tercela atau akhlak yang jahat (qabihah yang menurut istilah al-Ghazali disebut
sebagai muhlikat yang artinya segala sesuatu yang membinasakan atau
mencelakakan.[1]
Dari uraian tersebut mengandung arti bahwa akhlak terbagi dalam dua kategori,
yaitu:
1)
Akhlak
yang baik (Akhlaq al-Mahmudah)
perilaku
yang baik dimana akal pikiran (rasio) maupun syari’at agama Islam tidak
menolaknya, artinya bahwa perilaku-perilaku tersebut sesuai dengan norma dan
ajaranajaran agama Islam.
2)
Akhlak
yang tercela (Akhlaq al-Madzmumah)
perilaku
atau perbuatan yang tidak sesuai (bertentangan) dengan akal pikiran dan
syari’at agama Islam. Ruang lingkup akhlak adalah sama dengan ruang lingkup
ajaran Islam itu sendiri, yaitu pola hubungan manusia dengan Allah (khaliq) dan
hubungan dengan sesama makhluk (baik manusia maupun bukan manusia). Sehingga
apabila di perinci sebagai berikut:
1) Akhlak
terhadap Allah sang Khaliq.
2) Akhlak
terhadap makhluk, terbagi dua:
a)
Akhlak terhadap manusia, dapat dibagi lagi menjadi: Akhlak terhadap diri
sendiri dan akhlak terhadap orang lain atau sesama manusia (Rasulullah,
keluarga, teman, tetangga, masyarakat).
b)
Akhlak terhadap bukan manusia, yaitu: alam/lingkungan (hewan, tumbuh-tumbuhan
dan alam sekitar). Sehubungan dengan hal tersebut diatas penelitian ini hanya
memfokuskan pembahasan mengenai akhlak yang berhubungan dengan Allah Swt,
akhlak terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan terhadap lingkungan.
b. Akhlak terhadap Allah
Yang dimaksud
dengan akhlak terhadap Allah atau pola hubungan manusia dengan Allah Swt, adalah
sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
kepada Allah Swt sebagai khaliq. Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah
pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Sekurang-kurangnya
ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah. Pertama, karena
Allah yang telah menciptakan manusia. Kedua, karena Allah yang telah memberikan
perlengkapan panca indera, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota
badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Ketiga, karena Allah yang telah
menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup
manusia. Keempat, Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan untuk menguasai daratan, lautan dan udara.[2]
Banyak sekali cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah, di
antaranya:
a) Taqwa kepada Allah
Orang yang
bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran,
mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, menjauhi larangan-Nya dan takut
terjerumus kedalam perbuatan dosa. Orang yang bertaqwa akan selalu membentengi
diri dari kejahatan, memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak
diridhoi Allah SWT, bertanggungjawab terhadap perbuatan dan tingkah lakunya,
serta memenuhi kewajibannya.[3]
Hal ini telah
diperintahkan oleh Allah yang tercantum dalam Surat Ali Imron ayat 102:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
berserah diri kepada Allah.”(Q.S. Ali Imron/3:102) [4]
Bertakwa kepada
Allah, seperti: menunaikan shalat fardlu 5 waktu, menunaikan puasa pada bulan
Ramadhan dan menjauhi semua yang dilarang-Nya, seperti: tidak berjudi dan
sebagainya.
b) Cinta dan ridha kepada-Nya
Cinta adalah
kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang
terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa
kasih sayang.[5]
Bagi seorang mukmin, cinta pertama dan utama sekali diberikan kepada Allah SWT.
Allah lebih dicintainya daripada segala-galanya. Dalam hal ini Allah berfirman
:
“Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (Q.S.
Al-Baqoroh/2:165)
Sejalan
dengan cinta, seorang Muslim haruslah dapat bersikap ridha dengan segala aturan
dan keputusan Allah. Artinya dia harus dapat menerima dengan sepenuh hati,
tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan ataupun petunjuk-petunjuk lainnya.
Orang yang ridha dengan Allah ia akan rela menerima Qodho dan qodar Allah
terhadap dirinya. Dia akan bersyukur atas segala kenikmatan dan akan bersabar
atas segala cobaan. Demikian sikap cinta dan ridha kepada Allah SWT. Dengan
cinta kita mengharapkan ridho-Nya dan dengan ridho kita mengharapkan cinta-Nya.[6]
c) Bersyukur
Bersyukur atas
nikmat Allah tidak hanya diucapkan dengan lisan, akan tetapi juga diwujudkan
dengan perbuatan, yaitu dengan menggunakan nikmat yang telah diberikan Allah
dengan sebaikbaiknya. Sebagaimana firman Allah:
“Dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji".(Q.S. Luqman/31:12)[7]
d) Tawakkal
Tawakal kepada
Allah berarti menyerahkan semua urusan kita sepenuhnya kepada-Nya, sesudah
melakukan usaha semaksimal yang kita sanggupi, sehingga kita benar-benar tidak
mencampurinya lagi.
e) Taubat
Taubat sering
didefinisikan sebagai bentuk permohonan ampun kepada Allah SWT, penyesalan
mendalam atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya dan berjanji
tidak akan mengulangi kesalahan tersebut dimasa yang akan datang. Taubat yang
sempurna harus memenuhi lima dimensi [8]
(1) Menyadari kesalahan
(2) Menyesali kesalahan
(3) Memohon ampun kepada Allah SWT
(4) Berjanji tidak akan mengulanginya
(5) Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal sholeh
f) Ikhlas
Ikhlas
yaitu melaksanakan perintah Allah dengan pasrah tanpa mengharapkan sesuatu,
kecuali keridhaan Allah. Jadi ikhlas itu bukan tanpa pamrih Tetapi pamrih hanya
diharapkan dari Allah berupa keridhaan-Nya. Oleh karena itu, dalam
melaksanakannya harus menjaga akhlak sebagai bukti keikhlasan menerima
hukum-hukum tersebut.[9]
g)
Khusyuk
Khusuk
yaitu bersatunya pikiran dengan perasaan batin dalam perbuatan yang sedang
dikerjakannya atau melaksanakan perintah dengan sungguh-sungguh. Khusyuk
melahirkan ketenangan batin dan perasaan pada orang yang melakukannya. Karena
itu, segala bentuk perintah yang dilakukan dengan khusyuk melahirkan
kebahagiaan hidup. Ciri-ciri Khusyu’ yaitu adanya perasaan nikmat ketika
melaksanakannya Shalat perlu dilakukan dengan khusyu’. Jika orang melakukan
shalat tetapi belum khusyu’. Agar khusyu’ dalam shalat, sejak niat kita harus
sunguh-sungguh hanya terpusat pada perbuatan yang berkaitan dengan shalat. Apa
yang dibacakan oleh lidah, dimaknai oleh pikran, diresapi oleh hati dan
difokuskan pada Allah yang sedang kita hadapi.
h) Huznudzdzan,
Husnudzon
yaitu berbaik sangka kepada Allah. Apa saja yang diberikan-Nya merupakan
pilihan yang terbaik untuk manusia. Berprasangka baik kepada Allah merupakan
gambaran harapan dan kedekatan seseorang kepada-Nya, sehingga apa saja
yan diterimanya dipandang sebagai suatu yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena
itu, seorang yang huznuzan tidak akan mengalami perasaan kecewa atau putus asa
yang berlebihan.
i) Bertasbih, yaitu mensucikan Allah dengan ucapan, yaitu dengan
memperbanyak mengucapkan subhanallah ( maha suci Allah ) serta menjauhkan
perilaku yang dapat mengotori nama Allah Yang Maha Suci.
j) Istighfar, yaitu meminta ampun kepada Allah atas segala dosa yan
perna dibuat dengan mengucapkan “ astagfirullahal ‘adzim ’’ (aku memohon ampun
kepada Allah yang Maha Agung ). Sedangkan istighfar melalui perbuatan dilakukan
dengan cara tidak mengulangi dosa atau kesalahan yan telah dilakukan.
k) Takbir, yaitu mengagungkan Allah dengan membaca Allahu Akbar (
Allah Maha Besar). Mengagungkan Allah melalui perilaku adalah mengagungkan
nama-Nya dalam segala hal, sehingga tidak menjadikan sesuatu melebihi
keagunggan Allah. Tidak mengagungkan yang lain melampaui keagunggan Allah dalam
berbagai konsep kehidupan, baik melalui kata-kata maupun dalam tindakan.
l) Do’a, yaitu meminta kepada Allah apa saja yang diinginkan dengan
cara yang baik sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Do’a adalah cara
membuktikan kelemahan manusia dihadapan Allah, karena itu berdoa merupakan inti
dari beribadah. Orang yang tidak suka berdo’a adalah orang yang sombong, sebab
ia tidak mengakui kelemahan dirinya dihadapan Allah, merasa mampu dengan
ushanya sendiri. Ia tidak sadar bahwa semua itu berkat izin dari Allah. Jadi,
doa merupakan etika bagi seorang hamba dihadapan Allah swt. Firman Allah
sebagai berikut:
“ Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam dalam keadaan hina dina ”. ( Q.S.Ghafur : 60 )
-------------------------------------
[1] ) Hamzah
Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), Cet. VI.
[2] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam,
[3] M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)
[4] Depag RI,
Al-Qur’an danTerjemahannya, (PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009).
[5] Yunahar Ilyas,
Kuliah Akhlak, hlm.24 15 Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya
[6] Yunahar Ilyas,
Kuliah Akhlak.
[7] Depag RI,
Al-Qur’an dan terjemahnya.
[8] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm.61-63
[9] Jurnal pesona
dasar, Universitas syiah kuala Vol. 1 No. 4, oktober 2015, hal 73-87
0 Comments